Suryana Fatah merupakan seorang pelawak asal Garut. Bersama Kang Ibing, Wawa Sofyan, Ujang dan Aom Kusman, ia membentuk grup lawak De Kabayan yang populer pada tahun 1970-an dan 1980-an. Di grup itu Suryana Fatah memerankan tokoh orang Tionghoa dengan panggilan Ho Liang. Sebelum bergabung dengan De Kabayan, Suryana terkenal dengan grup lawak 4S bersama Suf Yusuf yang bergabung dalam kelompok itu.
Karena berpenampilan, berperilaku serta dan berbicara dengan logat orang Tionghoa, ia sering dikira sebagai orang Tionghoa. Padahal ia orang Sunda asli. Lahir di Leles, Garut pada tahun 1920 dan tidak bisa berbahasa Mandarin.
Selain menjadi pelawak Babah Ho Liang juga memiliki kemampuan olah vokal. Sekitar 7 buah album yang dihasilkan termasuk kompilasi. Album pertama berjudul Alung-alung yang dikeluarkan perusahaan rekaman Nusantara Recording di tahun 1978. Meski Suryana Fatah hanya melantunkan 3 lagu plus 1 lagu duet dengan sang anak, Nana S. Fatah. Sukses dengan album pertama kemudian dilanjutkan dengan album Alung-alung II dan Araraneh.
Pada tahun 1984 album bertajuk Heureuy Sunda “Babah Ho Liang Brang Breng Brong” menjadi alternatif Suryana Fatah berkomedi selain bersama De Kabayan. Album berisi ocehan komedi duo yang melibatkan Wawa Sofyan teman segroup di De’ Kabayan's.
Sejak "pensiun" dari De Kabayan tahun 1994, aktivitasnya adalah berdakwah pada sejumlah masjid dan kegiatan yang sifatnya religius di Kota Bandung. Suryana Fatah meninggal di Bandung dalam usia 83 tahun pada tanggal 6 Septémber 2003.
Pelawak dan seniman Sunda, Kang Ibing memiliki nama lengkap lengkap Raden Aang Kusmayatna Kusumadinata. Lahir di Sumedang, 20 Juni 1946 dan meninggal di Bandung pada 19 Agustus 2010 dalam usia 64 tahun. Menikah dengan Ny. Nieke dan dikarunia 3 orang anak masing-masing Kusmadika, Kusmandana dan Diane.
Kariernya dimulai ketika menjadi Pembawa Acara Obrolan Rineh di Radio Mara Bandung. Ketika menjadi mahasiswa di Fakultas Sastera Unpad Jurusan Sastera Rusia, Kang Ibing pernah aktif sebagai Ketua Kesenian Daya Mahasiswa Sunda (DAMAS), Penasihat Departemen Kesenian Unpad dan pernah juga menjadi Asisten Dosen di Fakultas Sastra Unpad.
Pada tahun 1970 bersama-sama dengan Aom Kusman, Suryana Fatah, Wawa Sofyan, dan Ujang, Kang Ibing membentuk Group Lawak D'Kabayan. Dalam grup ini masing-masing memiliki keunikannya sendiri, di mana para anggotanya mewakili sosok etnis tertentu. Misalnya Suryana Fatah dikenal sebagai Koh Ho Liang dan Wawa Sofyan sebagai Mas Sastro. Kang Ibing sendiri dikenal dengan nama Kang Maman, yang memerankan sosok lugu orang Sunda "pituin".
Pada tahun 1975 untuk pertama kalinya main film Si Kabayan arahan Sutradara Tuty Suprapto. Konon pilihan Tutty jatuh ke Kang Ibing karena tertarik saat mendengarkan gaya humornya di Radio Mara. Setelah film Kabayan tersebut, Kang Ibing membintangi film-film lain, di antaranya Ateng the Godfather (1976), Bang Kojak (1977), Si Kabayan dan Gadis Kota (1989), Boss Camad (1990), Komar si Glen Kemon Mudik (1990), Warisan Terlarang (1990), dan Di sini Senang di sana Senang (1990).
Selain menjadi seniman ternyata Kang Ibing aktif juga menjadi da'i atau pendakwah. Diluar kesibukannya di dunia hiburan ia kerap memberikan ceramah agama (Islam) ke sejumlah tempat, termasuk ke pelosok-pelosok daerah. Tema dakwahnya menyangkut masalah-masalah keseharian, dibawakan dengan gaya humor yang segar.
Kang Ibing pernah menyatakan bahwa kesuksesan karirnya tidak lepas dari doa yang tulus dari kedua orang tuanya. Ungkapan “Indung Tunggul Rahayu, Bapa Tangkal Darajat” senantiasa melekat di hatinya. Dan itu dijadikan pedoman hidup keluarganya serta tidak segan-segan memasang semboyan itu di ruangan tengah keluarganya.
Franky Hubert Sahilatua, Penyanyi balada asal Surabaya, lahir pada 16 Agustus 1953 dan meninggal pada 20 April 2011 dalam usia 57 tahun. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara, diantaranya adalah Jane Sahilatua dan Johnny Sahilatua.
Nama Franky mulai bersinar sejak paruh kedua dekade 1970-an, ketika ia bersama adiknya, Jane Sahilatua membuat proyek duo folk dengan nama Franky & Jane. Duet ini sempat menghasilkan 15 album yang semuanya dirilis di bawah Jackson Record. Albumnya antara lain, Musim Bunga, Ali Topan, Kepada Angin dan Burung-burung, Panen Telah Datang dan Menyambut Musim Petik. Setelah itu Franky lebih banyak bersolo karier karena Jane kemudian menikah dan hendak memusatkan diri pada keluarga.
Lirik lagu karya Franky pada masa Franky & Jane cenderung pada pemujaan alam pada awalnya, misalnya pada lagu Musim Bunga dan Kepada Angin dan Burung. Namun Franky gemar pula "bercerita" mengenai kehidupan orang sehari-hari, seperti Perjalanan atau Bis Kota. Franky pernah menulis dan menyanyikan lagu-lagu soundtrack untuk film Ali Topan.
Sejak tahun 1990-an Franky banyak terlibat dalam aksi-aksi panggung bertema sosial dan nasionalisme. Ia aktif terlibat dalam masa peralihan politik dari Orde Baru menuju Reformasi, penentangan RUU APP, serta gerakan anti globalisasi. Pada pemilu 2004, dirinya terang-terangan turut mendukung dan mengkampayekan calon presiden Amien Rais, sebagai calon presiden yang menurutnya paling bersih dibanding yang lain.
Pada Oktober 2010, Franky menerima penghargaan Lifetime Achievement Award yang diberikan SCTV Award 2010, atas semua perannya di dunia musik Indonesia.
Salah satu lagu paling populer yang diciptakan olehnya dan dinyanyikan oleh Iwan Fals adalah lagu berjudul ”Kemesraan.” Lagu lainnya, Di Bawah Tiang Bendera diciptakannya bersama Iwan Fals pada 1996, dengan latar belakang peristiwa 27 Juli.
DISKOGRAFI
Album Solo
* BALADA WAGIMAN TUA (1982)
* GADIS KEBAYA (1984)
* DIBALIK KACA JENDELA
* PURNAMA JANGAN BERKEPING
* TERMINAL (1993) bersama Iwan Fals
* KEMARIN (1994)
* LELAKI DAN TELAGA (1995)
* ORANG PINGGIRAN (1995) bersama Iwan Fals
* PERAHU RETAK (1996) bersama Emha Ainun Najib
* MENANGIS (1999) bersama Iwan Fals
Franky & Jane
* KEMBALILAH (1975)
* BALADA ALI TOPAN (1976)
* MUSIM BUNGA (1978)
* KEPADA ANGIN DAN BURUNG-BURUNG (1978)
* DAN KETUK SEMUA PINTU (1979)
* PANEN TELAH DATANG (1980)
* SITI JULAIKA (1982)
* DI LADANG BUNGA (1983)
* RUMAH KECIL, PINGGIR SUNGAI (1984)
* BIARKAN HUJAN (1986)
* LANGIT HITAM (1990)
* PERJALANAN/BIS KOTA (Versi Baru) (1991)
* POTRET (1992)
* LELAKI DAN REMBULAN (1993)
Franky & Johnny
* UNTUKMU GADISKU
Franky, Jane & Johnny
* MENYAMBUT MUSIM PETIK (1985)
* FRANKY & JANE, ACOUSTIC FOREVER (2011)
Album Lain
* KITA SEMUA SAMA (1989)
* NURLELA (1989)
Karya Populer
* Di Bawah Tiang Bendera
* Kemesraan
* Malu
.
Nama Franky mulai bersinar sejak paruh kedua dekade 1970-an, ketika ia bersama adiknya, Jane Sahilatua membuat proyek duo folk dengan nama Franky & Jane. Duet ini sempat menghasilkan 15 album yang semuanya dirilis di bawah Jackson Record. Albumnya antara lain, Musim Bunga, Ali Topan, Kepada Angin dan Burung-burung, Panen Telah Datang dan Menyambut Musim Petik. Setelah itu Franky lebih banyak bersolo karier karena Jane kemudian menikah dan hendak memusatkan diri pada keluarga.
Lirik lagu karya Franky pada masa Franky & Jane cenderung pada pemujaan alam pada awalnya, misalnya pada lagu Musim Bunga dan Kepada Angin dan Burung. Namun Franky gemar pula "bercerita" mengenai kehidupan orang sehari-hari, seperti Perjalanan atau Bis Kota. Franky pernah menulis dan menyanyikan lagu-lagu soundtrack untuk film Ali Topan.
Sejak tahun 1990-an Franky banyak terlibat dalam aksi-aksi panggung bertema sosial dan nasionalisme. Ia aktif terlibat dalam masa peralihan politik dari Orde Baru menuju Reformasi, penentangan RUU APP, serta gerakan anti globalisasi. Pada pemilu 2004, dirinya terang-terangan turut mendukung dan mengkampayekan calon presiden Amien Rais, sebagai calon presiden yang menurutnya paling bersih dibanding yang lain.
Pada Oktober 2010, Franky menerima penghargaan Lifetime Achievement Award yang diberikan SCTV Award 2010, atas semua perannya di dunia musik Indonesia.
Salah satu lagu paling populer yang diciptakan olehnya dan dinyanyikan oleh Iwan Fals adalah lagu berjudul ”Kemesraan.” Lagu lainnya, Di Bawah Tiang Bendera diciptakannya bersama Iwan Fals pada 1996, dengan latar belakang peristiwa 27 Juli.
DISKOGRAFI
Album Solo
* BALADA WAGIMAN TUA (1982)
* GADIS KEBAYA (1984)
* DIBALIK KACA JENDELA
* PURNAMA JANGAN BERKEPING
* TERMINAL (1993) bersama Iwan Fals
* KEMARIN (1994)
* LELAKI DAN TELAGA (1995)
* ORANG PINGGIRAN (1995) bersama Iwan Fals
* PERAHU RETAK (1996) bersama Emha Ainun Najib
* MENANGIS (1999) bersama Iwan Fals
Franky & Jane
* KEMBALILAH (1975)
* BALADA ALI TOPAN (1976)
* MUSIM BUNGA (1978)
* KEPADA ANGIN DAN BURUNG-BURUNG (1978)
* DAN KETUK SEMUA PINTU (1979)
* PANEN TELAH DATANG (1980)
* SITI JULAIKA (1982)
* DI LADANG BUNGA (1983)
* RUMAH KECIL, PINGGIR SUNGAI (1984)
* BIARKAN HUJAN (1986)
* LANGIT HITAM (1990)
* PERJALANAN/BIS KOTA (Versi Baru) (1991)
* POTRET (1992)
* LELAKI DAN REMBULAN (1993)
Franky & Johnny
* UNTUKMU GADISKU
Franky, Jane & Johnny
* MENYAMBUT MUSIM PETIK (1985)
* FRANKY & JANE, ACOUSTIC FOREVER (2011)
Album Lain
* KITA SEMUA SAMA (1989)
* NURLELA (1989)
Karya Populer
* Di Bawah Tiang Bendera
* Kemesraan
* Malu
.
SH Mintardja atau lengkapnya Singgih Hadi Mintardja lahir di Yogyakarta pada 26 Januari 1933 dan meninggal di Yogyakarta, 18 Januari 1999 dalam usia 65 tahun.
SH Mintardja dikenal sebagai penulis cerita bersambung serial silat dengan nuansa sejarah Jawa, yang dimuat di beberapa surat kabar seperti Api Di Bukit Menoreh di Kedaulatan Rakyat. Ia pernah juga bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan pada 1958, dan terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud DIY sampai pensiun pada tahun 1989.
Beberapa serial cerita silat di gali dari sejarah Jawa pada zaman kerajaan yang ia tulis sejak tahun 1964. Dengan berbekal pengetahuan sejarah yang Ia miliki, ditambah dengan mendalami kitab Babad Tanah Jawi. Maka lahirlah cerita Nagasasra Sabuk Inten, cerita dengan latar belakang kerajaan Demak dengan tokohnya mahesa Jenar. Nagasasra Sabuk Inten sangat digandrungi pembaca, sampai ada yang menganggap Mahesa Jenar benar-benar ada dalam sejarah Demak. Bahkan tim sepakbola asal Semarang pun dijuluki Tim Mahesa Jenar.
SH Mintardja kemudian membuat kisah Pelangi di Langit Singasari yang dimuat di Harian Berita Nasional pada tahun 1970-an. Setelah itu dilanjutkan dengan serial Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan.
Api Di Bukit Menoreh, yang mengambil kisah berdirinya kerajaan Mataram Islam adalah karyanya yang terpanjangnya, terdiri dari 396 jilid. Bahkan hingga akhir hayatnya kisah tersebut belum selesai.
Api di Bukit Menoreh (396 episode)
Tanah Warisan (8 episode)
Matahari Esok Pagi (15 episode)
Meraba Matahari (9 episode)
Suramnya Bayang-bayang (34 episode)
Sayap-sayap Terkembang (67 episode)
Istana yang Suram (14 episode)
Nagasasra Sabukinten (16 episode)
Bunga di Batu Karang (14 episode)
Yang Terasing (13 episode)
Mata Air di Bayangan Bukit (23 episode)
Kembang Kecubung (6 episode)
Jejak di Balik Bukit (40 episode)
Tembang Tantangan (24 episode)
Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan (118 episode)
READ MORE
SH Mintardja dikenal sebagai penulis cerita bersambung serial silat dengan nuansa sejarah Jawa, yang dimuat di beberapa surat kabar seperti Api Di Bukit Menoreh di Kedaulatan Rakyat. Ia pernah juga bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan pada 1958, dan terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud DIY sampai pensiun pada tahun 1989.
Beberapa serial cerita silat di gali dari sejarah Jawa pada zaman kerajaan yang ia tulis sejak tahun 1964. Dengan berbekal pengetahuan sejarah yang Ia miliki, ditambah dengan mendalami kitab Babad Tanah Jawi. Maka lahirlah cerita Nagasasra Sabuk Inten, cerita dengan latar belakang kerajaan Demak dengan tokohnya mahesa Jenar. Nagasasra Sabuk Inten sangat digandrungi pembaca, sampai ada yang menganggap Mahesa Jenar benar-benar ada dalam sejarah Demak. Bahkan tim sepakbola asal Semarang pun dijuluki Tim Mahesa Jenar.
SH Mintardja kemudian membuat kisah Pelangi di Langit Singasari yang dimuat di Harian Berita Nasional pada tahun 1970-an. Setelah itu dilanjutkan dengan serial Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan.
Api Di Bukit Menoreh, yang mengambil kisah berdirinya kerajaan Mataram Islam adalah karyanya yang terpanjangnya, terdiri dari 396 jilid. Bahkan hingga akhir hayatnya kisah tersebut belum selesai.
Api di Bukit Menoreh (396 episode)
Tanah Warisan (8 episode)
Matahari Esok Pagi (15 episode)
Meraba Matahari (9 episode)
Suramnya Bayang-bayang (34 episode)
Sayap-sayap Terkembang (67 episode)
Istana yang Suram (14 episode)
Nagasasra Sabukinten (16 episode)
Bunga di Batu Karang (14 episode)
Yang Terasing (13 episode)
Mata Air di Bayangan Bukit (23 episode)
Kembang Kecubung (6 episode)
Jejak di Balik Bukit (40 episode)
Tembang Tantangan (24 episode)
Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan (118 episode)
Bastian Tito (1945-2006) adalah seorang penulis cerita silat dan ayah dari artis Vino Bastian. Karyanya yang terkenal adalah Wiro Sableng, sebuah cerita silat yang mulai diterbitkan sejak 1967. Kisah Wiro Sableng yang Ia ciptakan sangat digemari banyak orang meski buku-bukunya tak dipajang di toko-toko buku terkemuka. Tiap jilid buku Wiro Sableng setebal antara 100-200 halaman, pada tahun 1990-an banyak dijual di pasar dan kios koran dengan harga sekitar Rp. 1000. Kisah Wiro Sableng, yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, juga telah pernah diangkat ke layar lebar serta sinetron televisi.
Seperti dalam cerita silat Kho Ping Hoo, banyak filosofi yang termuat dalam kisah Wiro Sableng. Seperti penggunaan angka 212 pada kapak yang Wiro gunakan, yang juga ditato ke dada Wiro, dijelaskan dalam seri pertama Wiro Sableng, Empat Brewok dari Goa Sanggreng, dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa dalam kehidupan selalu melekat hal-hal yang berpasangan, seperti senang-susah, menang-kalah, atau hidup-mati, tapi semuanya berasal dari dan akan kembali ke Yang Mahasatu.
Penulis kelahiran 23 Agustus 1945 ini mulai menulis sejak kelas 3 SD dan mulai menerbitkan karyanya sejak 1964. Selain Wiro Sableng yang mencapai ratusan jilid buku, karya lain yang pernah Ia tulis antara lain Boma si Pendekar Cilik dan cerita bernuansa budaya Minang berjudul Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok. Bastian Tito meninggal dunia pada Senin 2 Januari 2006.
dari berbagai sumber
Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (1926-1994) merupakan salah satu penulis cerita silat paling produktif. Imajinasi dan bakat menulisnya luar biasa. Sehingga meski tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa mandarin, Kho Ping Hoo banyak menulis cerita silat dengan latar belakang sejarah Cina. Selama 30 tahun lebih dia telah menulis sekitar 120 judul cerita silat yang sebagian besar ceritanya berlatar Cina. Meski dalam karyanya terdapat fakta historis dan geografis Tiongkok dalam ceritanya tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya sehingga membingungkan bagi yang mengerti sastra dan sejarah Cina.
Kho Ping Ho dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada 17 Agustus 1926 dan meninggal dunia pada 22 Juli 1994 dalam usia 67 tahun. Kho Ping Hoo hanya menyelesaikan pendidikan kelas 1 Hollandsche Inlandsche School (HIS). Meski demikian Ia amat gemar membaca, sebagai langkah awal kemahirannya menulis.
Sejak kecil ayahnya telah mengajarkan seni beladiri kepadanya sehingga silat bukanlah hal yang asing baginya. Maka sejak 1959 Ia pun menciptakan cerita silat. Tetapi karyanya yang pertama merupakan cerita pendek yang dimuat di majalah Star Weekly pada 1958.
Karya cerita silat pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih yang dimuat secara bersambung di majalah Teratai. Majalah itu ia dirikan bersama beberapa pengarang lainnya. Saat itu, selain menulis, ia masih bekerja sebagai juru tulis dan kerja serabutan lainnya, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Setelah cerita silatnya menjadi populer, ia pun memilih fokus menulis. Ia menerbitkan sendiri cerita silatnya dalam bentuk serial buku saku, yang ternyata sangat laris. Cerita silatnya pun makin bervariasi. Tak hanya cerita berlatar Cina, tetapi juga cerita berlatar sejarah Jawa.
Beberapa karya Kho Ping Hoo antara lain serial Bu Kek Sian Su (Bu Kek Sian Su, Suling Emas, Cinta Bernoda Darah, Mutiara Hitam, Istana Pulau Es, Kisah Pendekar Bongkok, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis, Kisah Sepasang Rajawali, Jodoh Rajawali, Suling Emas dan Naga Siluman, Kisah Para Pendekar Pulau Es, Suling Naga, Kisah si Bangau Putih, Kisah si Bangau Merah, Si Tangan Sakti, Pusaka Pulau Es), serial Pedang Kayu Harum (Pedang Kayu Harum, Petualang Asmara, Dewi Maut, Pendekar Lembah Naga, Pendekar Sadis, Harta Karun Jenghis Khan, Siluman Gua Tengkorak, Asmara Berdarah, Pendekar Mata Keranjang, Ang Hong Cu, Jodoh Si Mata Keranjang, Pendekar Kelana), dan lain-lain. Novelnya yang lain yang berlatar belakang Jawa diantaranya Darah Mengalir di Borobudur. Ada pula yang merupakan karya terjemahan, yaitu Bunga Teratai Emas.
Namanya Hendarso, tapi lebih dikenal dengan nama panggung Darso. Di tatar Sunda nama Darso terkenal sebagai seniman; penyanyi pop Sunda dan pemain calung. Dia sudah menghasilkan hampir 300 judul musik berbahasa Sunda dengan bermodalkan calung dan dipadukan dengan musik pop selama lebih dari 45 tahun. Sebagian orang menyebut dia sebagai Michael Darso Si Raja Pop Sunda, mengacu pada raja pop dunia Michael Jackson. Beberapa karya Darso yang terkenal adalah lagu Duriat, Dina Amparan Sajadah, Ararateul (Cucu Deui), Tanjakan Burangrang, Kabogoh Jauh, dan masih banyak lagi lainnya.
Darso lahir di Bandung pada12 Agustus 1945. Kiprahnya dimulai pada tahun 1962 sebagai pemain bas grup Nada Karya dan Nada Kencana. Ia sempat bergabung dengan band milik Pusat Persenjataan Kavaleri Bandung. Namun, kariernya di dunia pop terhenti karena terkena imbas peristiwa G30S/PKI.
Tahun 1968 bersama sang kakak, Uko Hendarso, Darso kembali tampil. Alat musik calung digunakan sebagai instrumen utama. Calung adalah sebuah alat musik tradisional Sunda yang terbuat dari bambu seperti angklung, hanya saja memainkannya tidak dengan cara digoyang tetapi ditabuh. Ia menggunakan calung sebagai pengiring lagu sambil menyusuri jalan-jalan Kota Bandung. Padahal dulu tak ada yang menggunakan calung sebagai pengiring lagu. Calung hanya didengarkan bunyinya, tanpa lagu.
Tampilan musik calung Darso bersama grup Calung Uko Hendarto menarik minat pemerhati musik S Hidayat. Dia lalu membawa Darso tampil di Radio Republik Indonesia (RRI). Bersama grup Baskara Saba Desa, suara Darso didengar banyak orang. Sampai tahun 1978, ia punya grup sendiri, Calung Darso. Di bawah bendera Asmara Record, ia merekam suara di atas pita kaset. Waktu itu Darso bisa merekam musik calung dalam empat-lima kaset per tahun. Lirik lagunya bertema keseharian, kritik sosial, dan tembang cinta.
Darso sering berkaca mata hitam dalam penampilan panggungnya. Rambut panjangnya disisir rapih dan klimis, kadang dibiarkan tergerai mirip mendiang penyanyi terkenal Michael Jackson.
Meski namanya populer, Darso tak berubah. Ia ingin selalu dekat dengan masyarakat. Ia tetaplah pribadi yang tak suka formalitas. Ia tak mau dikawal dan selalu melayani permintaan foto penggemarnya. Sikap rendah hatinya itu membuat dia juga disebut Pak Haji meski Darso belum menunaikan ibadah haji.
Dalam usia yang tak muda, Darso bisa dikatakan tak pernah menolak permintaan untuk pentas. Dia menganggap permintaan masyarakat itu sebagai rezeki yang tidak boleh ditolak. Meski untuk memenuhi permintaan naik panggung itu, Darso merasa lelah secara fisik.
Tetapi, rasa lelah itu seakan hilang ketika dia melihat penonton senang dengan aksi panggungnya yang bak ”cacing kepanasan”. Rasa puas dan senang itu pula yang membuat Darso rela tidak dibayar jika permintaan naik panggung itu datang dari orang tak mampu. Asal jujur, ia tak menargetkan bayaran. Ia pernah manggung di rumah seorang penjual es di Kabupaten Bandung.
Pada tahun 2005 lalu Darso mendapat Anugerah Jabar Music Award sebagai apresiasi terhadap kiprahnya di dunia musik. Kemudian pada 2009 Darso menerima Anugerah Budaya Kota Bandung 2009 bersama seniman lain seperti Kang Ibing dan lain-lain.
Pada hari Senin, 12 September 2011 Darso berpulang ke Rahmatullah dalam usia 66 tahun. Dia meninggal dunia saat dilarikan ke Rumah Sakit Daerah Soreang, Kab. Bandung.
Penyanyi dan pencipta lagu, Gesang Martohartono (1917-2010), dikenal sebagai maestro musik keroncong Indonesia. Gesang terkenal lewat lagu ciptaannya, Bengawan Solo, disamping Gesang pula yang memopulerkan nama Bengawan Solo hingga kepopulerannya mengalir sampai jauh hingga mancanegara. Lagu dengan irama keroncong ini memang sangat populer, dan telah diterjemahkan dan dinyanyikan dalam bahasa-bahasa asing. Di Jepang bahkan pernah dijadikan soundtrack sebuah film layar lebar. Jepang juga yang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo pada tahun 1983 Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong.
Bengawan Solo diciptakan pada tahun 1940, saat Gesang duduk di tepian sungai Bengawan Solo. Terinspirasi oleh sungai tersebut Ia kemudian menulis syair di secarik kertas pembungkus rokok yang 6 bulan kemudian lagu tersebut dijuduli Bengawan Solo. Setahun setelah menciptakan lagu Bengawan Solo Ia menikah dengan seorang wanita bernama Waliyah. Namun di tahun 1963 pasangan ini kemudian bercerai setelah berumahtangga selama 22 tahun. Ia tak dikaruniai anak dan memilih untuk hidup sendiri semenjak percereaiannya tersebut.
Gesang lahir di Surakarta pada 1 Oktober 1917 dari pasangan pengusaha batik Martodiharjo dari perkawinan istri keduanya. Ia mengawali karirnya sebagai seorang penyanyi lagu-lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan di kota Solo. Pada masa itupun Ia sudah menciptakan lagu seperti; Keroncong Roda Dunia, Keroncong si Piatu, dan Sapu Tangan.
Kehidupan Gesang tidak berubah meski Bengawan Solo populer dimana-mana. Ia tetap lugu dan sederhana, dan tidak mempedulikan royalti atas lagu-lagunya. PT Penerbit Karya Musik Pertiwi (PMP) yang kemudian berjuang mengumpulkan royalti dari karya Gesang di seluruh dunia sejak 1996. Agar karya Gesang tetap abadi, PT PMP menerbitkan buku berisi 44 partitur serta syair-syair lagu. Saat ini, lagu-lagu yang diciptakan Gesang diakui sebagai aset nasional.
Menjelang akhir hayatnya Gesang tinggal bersama saudaranya, Toyibi di kampung Kemplayan. Sedangkan rumah sebelumnya di Perumnas Palur yang merupakan hadiah almarhum Soepardjo Roestam saat menjabat gubernur Jawa Tengah, ditempati keponakannya.
Gesang menikmati hari-hari masa tua dengan bercengkerama bersama sejumlah burung kacer merah kesayangannya. Ia sesekali masih berusaha berjalan di sekitar rumah, menikmati alam pedesaan walaupun harus dilakukan dengan susah payah dan tertatih-tatih.
Gesang meninggal dunia pada 20 mei 2010 dalam usia 92 tahun di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Solo, Jawa Tengah setelah di rawat selama sembilan hari. Semenjak masuk rumah sakit kondisi kesehatannya memang terus menurun. Bahkan pada 18 Mei di sebuah media sempat tersiar kabar sudah meninggal dunia.
Lagu-lagu Ciptaan Gesang:
Bengawan Solo
Jembatan Merah
Pamitan (versi bahasa Indonesia dipopulerkan oleh Broery Pesulima)
Caping Gunung
Ali-ali
Andheng-andheng
Luntur
Dongengan
Saputangan
Dunia Berdamai
Si Piatu
Nusul
Nawala
Roda Dunia
Tembok Besar
Seto Ohashi
Pandanwangi
Impenku
Kalung Mutiara
Pemuda Dewasa
Borobudur
Tirtonadi
Sandhang Pangan
Kacu-kacu