Mang Koko

Posted by admin On Kamis, 25 Agustus 2011 5 komentar
Mang Koko (1917-1985) adalah seorang seniman Sunda, pencipta lagu-lagu Sunda. Dilahirkan di Indihiang, Tasikmalaya pada 10 April 1917 dengan nama Koko Koswara. Ayahnya Ibrahim alias Sumarta, masih keturunan Sultan Banten (Sultan Hasanuddin). Beliau mendapat pendidikan di HIS (1932), MULO Pasundan (1935). Bekerja sejak tahun 1937 berturut-turut di: Bale Pamulang Pasundan, Paguyuban Pasundan, De Javasche Bank; Surat Kabar Harian Cahaya, Harian Suara Merdeka, Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, guru yang kemudian menjadi Direktur Konservatori Karawitan Bandung (1961-1973); Dosen Luar Biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung). Beliau wafat di Bandung, 4 Oktober 1985 pada usia 68 tahun.

Sejak masih kecil ia sudah akrab dengan alat musik seperti kecapi, suling, gitar, maupun biola. Kebetulan ayahnya menyediakan alat-alat tersebut di rumahnya di Indihiang. Ia juga sering memanjat menara masjid menjelang subuh untuk mengalunkan tarhim. Menurutnya tarhim juga merupakan cara yang sangat baik untuk olah vokal.

Bakat seni yang dimilikinya berasal dari ayahnya yang tercatat sebagai juru mamaos Ciawian dan Cianjuran. Kemudian ia belajar sendiri dari seniman-seniman ahli karawitan Sunda yang sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seorang ahli musik Sunda.

Mang Koko merupakan budayawan Sunda yang mungkin sulit untuk dicarikan pembanding. Ia menciptakan lagu, membentuk grup-grup seni Sunda, memimpin dan sekaligus mengajar di sana. Dengan ciptaannya yang tegar dan dinamis, ia berhasil melintasi batas-batas provinsi dan tradisi dan dikenal secara nasional.

Di awal kemerdekaan, 1946, ia mendirikan grup kesenian "Kanca Indihiang". Penampilan grup ini lewat siaran Radio Bandung -radio ini dulu dipancarkan dari Tasikmalaya – mendapat sambutan hangat. Maka tidak mengherankan ketika Koko pindah ke Bandung, 1950, Oejeng Soewargana, yang punya penerbit Ganaco, meminta Koko membukukan lagu ciptaannya.

Judul buku itu, Tjangkurileung, (ketilang) di tahun 1959, kemudian diabadikan menjadi nama yayasan yang didirikan Mang Koko untuk mengembangkan karawitan dikalangan pelajar, dari SD sampai SMTA. Dalam satu dasawarsa, 1960-1970, tercatat 1.800 orang yang memperoleh sertifikat dari Yayasan Tjangkurileung. Mang Koko membentuk lembaga pendidikan seni Ganda Mekar untuk kalangan mahasiswa dan umum. Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah kesenian "Swara Cangkurileung" (1970-1983).

Dalam masa produktif, antara tahun 1950-1960, rata-rata Mang Koko mengarang tiga lagu dalam setiap minggunya. Pada periode 1960-1970, produktivitas menurun tetapi lagunya lebih berisi. Kurang lebih 1000 lagu Sunda yang sudah ia ciptakan. Salah satunya lagu Badminton yang pernah populer, apalagi di saat bulu tangkis kita masih berjaya, ia ciptakan pada 1943, jauh sebelum Rudy Hartono menjuarai All England.

Selain menciptakan lagu Mang Koko juga merupakan pembaru musik Sunda. Mang Koko adalah orang Sunda pertama yang memasukkan dasar perkusi ke dalam lagu-lagunya. Misalnya pada lagu Mundinglaya, Mang Koko memasukkan suara kentongan. Tetapi di bagian lain lagi, ia melengkapi bunyi kecapi dengan merintis pemakaian elektrik. Dalam hal pembaru musik Sunda ini pemerintah memberikan Anugerah Satya Lencana pada 1971, yang disematkan oleh Menteri P dan K Mashuri, S.H.

Mang Koko adalah seseorang yang saleh, sederhana dan merakyat yang akrab dengan semua lapisan masyarakat, begitulah penilaian RAF. Ia juga membantah kecurigaan beberapa seniman yang menuduh Mang Koko pernah memasuki organisasi Paguyuban Seniman – sebuah organisasi yang condong pada Lekra/PKI.

Berikut ini diantara karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah:

"Resep Mamaos" (Ganaco, 1948),
"Cangkurileung" (3 jilid/MB, 1952),
"Ganda Mekar" (Tarate, 1970),
"Bincarung" (Tarate, 1970),
"Pangajaran Kacapi" (Balebat, 1973),
"Seni Swara Sunda/Pupuh 17" (Mitra Buana, 1984),
"Sekar Mayang" (Mitra Buana, 1984),
"Layeutan Swara" (YCP, 1984),
"Bentang Sulintang/Lagu-lagu Perjuangan"; dan sebagainya.

Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dan gending karesmen. Dalam hal ini tercatat misalnya:

"Gondang Pangwangunan",
"Bapa Satar",
"Aduh Asih",
"Samudra",
"Gondang Samagaha",
"Berekat Katitih Mahal",
"Sekar Catur",
"Sempal Guyon",
"Saha?",
"Ngatrok",
"Kareta Api",
"Istri Tampikan",
"Si Kabayan",
"Si Kabayan jeung Raja Jimbul",
"Aki-Nini Balangantrang",
"Pangeran Jayakarta",
"Nyai Dasimah".

READ MORE

Achdiat Karta Mihardja

Posted by admin On 0 komentar
Achdiat Karta Mihardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911 dan meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010 pada umur 99 tahun. Pendidikannya Ia lalui di AMS (Algemene Middelbare School) bagian A1 (Sastra dan Kebudayaan Timur) di Solo pada 1932 kemudian di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia (1948-1950). Ia juga mempelajari ajaran mistik (tarekat) aliran Qadariyah Naqsabandiyah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Selain itu belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme.

Ia pernah menjadi anggota redaksi Bintang Timur merangkap redaktur mingguan Peninjauan (bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi). Tahun 1937 menjadi pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat itu tumbuh minatnya kepada kesusastraan. Tahun 1943 menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio, Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali jadi redaksi di Balai Pustaka. Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. Ir. Sam Udin mewakili PEN Club Indonesia menghadiri Konperensi PEN Club International di Lausanne, Switserland. Saat itu ia juga mengunjungi Negeri Belanda, Inggris, Prancis, Jerman Barat, dan Roma.

Tahun 1952 berkunjung ke Amerika dan Eropa Barat dengan tugas dari Dep. PP&K untuk mempelajari soal-soal pendidikan orang dewasa (termasuk penerbitan bacaan-bacaannya) dan 'university extension courses'. Kesempatan ini digunakan juga untuk mempelajari seni drama di Amerika Serikat. Tahun 1956 selama setahun memperdalam bahasa Inggris serta sastranya di Sydney University dalam rangka Colombo Plan. Tahun 1960 menjabat Kepala Inspeksi Kebudayaan Djakarta Raya dan memberi kuliah pada FS-UI tentang Kesusastraan Indonesia Modern. Tahun 1961 menjabat sebagai Lektor Kepala pada Australian National University di Canberra dan mengajar sastra Indonesia Modern dan bahasa Sunda.

atheis, Achdiat K. Mihardja

Salah satu karya terpenting yang lahir dari tangan Achdiat K. Mihardja adalah novel Atheis, yang diterbitkan tahun 1949. Novel ini mengisahkan kegelisahan manusia dalam mencari pegangan hidup di tengah pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat yang terus berubah. Tema tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini meski Atheis ditulis puluhan tahun lalu. Novel yang merupakan salah satu puncak karya sastra Indonesia modern ini telah berulang kali dicetak dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Novel ini juga diangkat ke film layar lebar dengan judul yang sama tahun 1974.

Berdasarkan novel ini (Atheis) pengarangnya dianugerahi Hadiah Tahunan Pemerintah RI pada tahun 1969. Sebelumnya, pada 1959, kumpulan cerpennya yang diberi judul Keretakan dan Ketegangan mendapat hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).

Selain kedua buku tersebut, Karya-karya Achdiat yang lainnya adalah Polemik Kebudayaan (editor, 1948) Bentrokan dalam Asrama (drama, 1952), Kesan dan Kenangan (1960), Debu Cinta Berterbangan (novel, Singapura, 1973), Belitan Nasib (kumpulan cerpen, 1975), Pembunuhan dan Anjing Hitam (kumpulan cerpen, 1975), Pak Dullah in Extrimis (drama, 1977), Si Kabayan, Manusia Lucu (1997), dan Manifesto Khalifatullah (novel, 2006).

READ MORE

Rahmatullah Ading Affandie (RAF)

Posted by admin On Selasa, 23 Agustus 2011 0 komentar
RAF atau Rahmatullah Ading Affandie (1929-2008) merupakan seorang tokoh Jawa Barat. Ia adalah sastrawan Sunda, budayawan, juga pengamat sepakbola. Ia banyak melahirkan banyak karya baik novel sunda, carpon, maupun naskah drama. Salah satu garapannya yaitu sinetron Sunda Inohong di Bojong Rangkong pernah populer di TVRI Bandung.

RAF lahir di Banjarsari, Ciamis, 2 Oktober tahun 1929 (meski tentang hari kelahirannya, RAF sendiri masih menyangsikan), putra dari Bapak Udin Tampura dan Ibu Ratna Permana. Mengenai RAF memulai sekolah di HIS Pasundan Tasikmalaya. Pada zaman Jepang, RAF melanjutkan pendidikannya di pesantren, tepatnya di Pesantren Miftahul Huda Ciamis. Pada masa revolusi, RAF kemudian melanjutkan sekolah Pertanian di Tasikmalaya dan Sekolah Menengah Atas di Bandung. Jenjang pendidikan tingginya dilalui di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai tingkat Sarjana Muda. Pada tahun 1963, RAF diangkat sebagai pegawai Perkebunan Negara IX sampai dengan pensiun dari PTP XII pada tahun 1983.

Sejak masih belum bisa membaca dia sering dibacakan oleh eyangnya, R. Hasan Nurwawi, karya-karya pengarang Sunda ternama seperti M.A. Salmun, Sacadibrata, Kadir Tisna Sujana, Syarif Amin, dan pengarang-pengarang lainnya. Minatnya terhadap kesusastraan juga tidak lepas dari pengaruh kakak ibunya yang mengasuh RAF sejak kecil, E. Soewitaatmadja. Diantara karangan RAF yang terkenal antara lain Nu Kaul Lagu Kaleon (1989), Bentang Lapang, serta Dongeng Enteng ti Pasantren (1961). Untuk buku Dongeng Enteng ti Pasantren RAF mendapat anugerah hadiah sastra LBSS pada tahun 1961. Berkaitan dengan banyaknya jasa yang dihasilkannya dalam mengembangkan Bahasa dan Sastra Sunda, pada tahun 1998 dianugerahi lagi hadiah Rancage dalam bidang jasa setelah pada tahun 1990 Ia dianugerahi hadiah Sastra Rancage untuk karyanya Nu Kaul Lagu Kaleon.

Selain menulis buku RAF juga produktif menulis naskah drama. Diantaranya drama Dakwaan dan Yaomal Qiyamah yang ditulis tahun 1950-an dan telah dipergelarkan puluhan kali. Selain itu RAF menulis skenario film, diantaranya Si Kabayan dan Ratu Ular yang ditayangkan oleh TVRI pusat. Sementara naskah serial Inohong di Bojong Rangkong yang ditayangkan di TVRI Bandung ditulis tidak kurang dari 110 judul.

Tahun 1963 RAF merintis kasidah modern yaitu Lingga Binangkit yang kemudian mengembangkan diri menjadi grup lainnya yaitu Patria. Lingga Binangkit merupakan lingkung seni yang memelopori pembaruan tidak saja di bidang seni tembang, tapi merambah ke seni kasidah. Dalam tembang Cianjuran, RAF menghadirkan konsep yang sama sekali baru. RAF menghadirkan konsep tembang berbasis puisi, padahal kala itu semua paguyuban tembang Cianjuran bersandar pada mamaos. Selain memajukan seni Cianjuran, terobosan penting Lingga Binangkit adalah penggunaan alat-alat musik barat seperti gitar dan keyboard dalam seni kasidah.

April 2005, RAF masih sempat menulis naskah gending yang dijudulinya Wiwitan Indit-inditan. Naskah ini dipentaskan pada perayaan 42 tahun Lingga Binangkit di Gedung Asia Africa Culture Center (gedung Majestic), di Jalan Braga Bandung.

RAF juga memiliki minat yang besar terhadap sepakbola. Sejak di HIS dia sudah pintar mengolah si kulit bundar dan sering dipinjam sekolah lain untuk memperkuat tim sepak bola sekolah tersebut. Ketika mengetahui RAF akan memperkuat tim sekolah tersebut, sekolah yang akan menjadi musuhnya banyak yang menolak bermain. Karena kepintarannya bermain bola, oleh masyarakat Tasik saat itu RAF dijuluki “Oyon van Gang Loji”. Oyon adalah salah seorang pemain PSTS (cikal bakal Persitas) yang sangat terkenal. Sedangkan Gang Loji adalah alamat rumah Emo Suwitaatmaja, bapak asuh RAF.

Antara tahun 1951-1954, RAF pernah menjadi komentator sepakbola di RRI Jakarta dan Bandung. RAF juga berjasa besar dalam mengembangkan pamor Persib. Tahun 1954-1955, RAF menjadi Ketua komisi teknik di Persib. Pemain Persib terkenal waktu itu yang pernah menjadi asuhannya diantaranya Rukman, Komar, Rukma dan Parhim.

Pengalaman hidupnya dia kisahkan dalam buku biografinya berjudul RAF Urang Banjarsari jadi Inohong di Bojongrangkong yang diterbitkan oleh Geger Sunten tahun 1998. Demikian pula perjalanan RAF menunaikan ibadah haji, dibukukan dengan judul Akina Puri ka Tanah Suci.

Sejak Juli 2007. RAF menderita kanker kelenjar dan sempat beberapa kali dirawat di RS Hasan Sadikin. Pada 6 Februaru 2008, RAF wafat di usia 79 di RS Advent Bandung. Ia meninggalkan seorang istri, Ineu Priatnakusumah (78) serta lima anak dan sembilan orang cucu.

Referensi:
http://www.sundanet.com/?p=196
http://yusranpare.wordpress.com/2008/02/07/pileuleuyan-pa-ading/
READ MORE

Kuntowijoyo

Posted by admin On 0 komentar
Prof. Dr. Kuntowijoyo (1943-2005) dikenal sebagai seorang sejarawan, budayawan, maupun sastrawan yang sangat produktif. Ia banyak menulis tentang sejarah, sastra, budaya, maupun agama, juga cerpen, puisi dan novel, dan drama. Bahkan Ia masih produktif menulis buku ketika dalam keadaan sakit selama bertahun-tahun. Dalam keadaan sakitnya juga, yaitu ketidakmampuan bicara akibat penyakit yang menyerang otaknya, Ia masih diundang untuk mengisi seminar, dengan dibantu istrinya, Susilaningsih, yang membacakan makalah ketika presentasi.

Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta pada 18 September 1943. Ia mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Setelah itu melanjutkan sekolah di Klaten (SMP) dan Solo (SMA), melanjutkan kulah di Universitas Gadjah Mada dan lulus menjadi sarjana sejarah pada tahun 1969. Gelar MA diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, yang disusul dengan gelar Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980, dengan disertasi tentang sejarah Madura yang berjudul Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940. Disertasinya sudah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940.

Sejak SMA Ia sudah banyak membaca karya sastra baik karya penulis Indonesia maupun luar negeri seperti Karl May, Charles Dickens, dan Anton Chekov. Pada 1964 ia menulis novel pertamanya yang berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Djihad tahun 1966. Pada 1968, cerpennya yang berjudul Dilarang mencintai Bunga-bunga memperoleh hadiah pertama dari majalah Sastra.

Berbagai hadiah dan penghargaan atas karya-karyanya sudah Ia terima. Diantaranya, naskah dramanya yang berjudul Rumput-rumput Danau Bento memenangkan hadiah harapan dari BPTNI. Naskah drama lainnya, Topeng Kayu, pernah pula mendapatkan hadiah dari Dewan kesenian Jakarta pada 1973. Buku kumpulan cerita pendeknya yang juga diberi judul Dilarang Mencintai Bunga-bunga mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Cerpennya yang dimuat di Kompas juga mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas pada 1995, 1996, 1997.

Kuntowijoyo mengabdi pada almamaternya, Universitas Gadjah Mada sebagai pengajar di Fakultas Sastra dan menjadi Guru Besar. Sebagai seorang akademisi Ia juga aktif menjadi pembicara, menulis, dan meneliti. Kumpulan tulisan tentang pemikirannya baik mengenai baik sejarah, ilmu sejarah, sosial, maupun budaya yang sudah diterbitkan Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (1991), Budaya dan Masyarakat, Pengantar Ilmu Sejarah, Metodologi Sejarah, Dinamika Sejarah Umat Islam, Muslim Tanpa Masjid, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas: Esai-esai Budaya dan Politik, Radikalisasi Petani: Esei-esei Sejarah, dan lain-lain.

Kuntowijoyo meninggal dunia pada 22 Februari 2005 di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta akibat komplikasi penyakit sesak nafas, diare, dan ginjal setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningo enchephalitis.


dari berbagai sumber



READ MORE