Haji Hasan Mustapa

Posted by admin On Rabu, 05 Oktober 2011 1 komentar
Haji Hasan Mustapa (1852-1930) adalah seorang ulama, penghulu, dan pujangga besar Sunda. Ia pernah menjadi kepala penghulu di Aceh pada zaman Hindia Belanda dan banyak menulis tentang masalah agama Islam dan tasawuf dalam bentuk guritan (pusisi yang berirama dalam bahasa Sunda).

Hasan Mustafa lahir pada 3 Juni 1852 di Cikajang, Garut dan hidup dalam lingkungan menak (bangsawan Sunda), tetapi berorientasi pada pesantren. Ayahnya bernama Mas Sastramanggala, setelah naik haji disebut Haji Usman, seorang camat perkebunan. Meski demikian sejak kecil Hasan Mustapa tidak dididik di sekolah, melainkan disuruh belajar di pesantren. Setelah belajar mengaji dari orangtuanya, belajar qiraah dari Kiai Hasan Basri, seorang ulama dari Kiarakoneng, Garut, dan dari seorang qari yang masih berkerabat dengan ibunya.

Dalam usia 8 tahun ia dibawa ke Mekah oleh ayahnya untuk menunaikan ibadah haji, dan tinggal disana selama setahun untuk belajar bahasa Arab dan membaca al-Quran. Sepulangnya dari Mekah kemudian belajar di berbagai pesantren di Garut dan Sumedang. Ia belajar dasar-dasar ilmu nahwu dan shorf (tata bahasa Arab) dari Rd. H Yahya, seorang pensiunan penghulu di Garut. Kemudian belajar dari Abdul Hasan, seorang kiai dari Sawahdadap, Sumedang. Setelah itu ia belajar kepada Kiai Muhammad Irja, murid Kiai Abdul Kahar, seorang kiai terkenal dari Surabaya dan murid dari Kiai Khalil Madura, pemimpin Pesantren Bangkalan, Madura.

Pada tahun 1874, ia kembali berangkat ke Mekah dan menetap disana selama kira-kira 8 tahun untuk memperdalam agama Islam. Disana ia belajar kepada Syekh Muhamad, Syekh Abdulhamid Dagastani atau Sarawani, Syekh Ali Rahbani, Syekh Umar Syami, Syekh Mustafa al-Afifi, Sayid Abubakar al-Sathahasbulah, Syekh Nawawi Al-Bantani, Abdullah Al-Zawawi, dan lain lain. Pada waktu itu Hasan Mustapa sendiri sudah mengajar di Masjidil Haram. Di Mekah juga ia berkenalan dengan Christiaan Snouck Hurgronje dan hubungan keduanya menjadi akrab.

Hasan Mustafa kemudian meninggalkan Mekah pada tahun 1882. Ia dipanggil pulang oleh RH. Muhammad Musa, penghulu Garut pada masa itu, untuk meredakan ketegangan akibat perbedaan paham di antara para ulama di Garut. Setelah berhasil memadamkan pertikaian paham itu, ia lalu mendirikan pesantren di Sindangbarang, Garut.

Pada tahun 1889 ia diminta oleh Snouck Hurgronje untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura menemui para kiai terkenal sambil menyelidiki kehidupan agama Islam dan folklor. Waktu itu Snouck Hurgronje menjabat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang masalah Bumiputra dan Arab.

Atas usul Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda kemudian mengangkat Haji Hasan Mustafa menjadi kepala penghulu di Aceh pada tanggal 25 Agustus 1893. Pada tahun 1895 ia kembali ke Bandung dan menjadi penghulu Bandung sampai pensiun pada 1918.

Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih dari 10.000 bait Dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda. Karya tersebut umumnya membahas masalah Suluk, terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Metafora yang sering yang sering digunakannya untuk menggambarkan hubungan itu ialah seperti rebung dengan bambu, seperti pohon aren dengan caruluk (bahan aren), yang menyebabkan sebagian ulama menuduhnya pengikut mazhab Wihdatul Wujud. Sebagai bantahan terhadap tuduhan itu, ia menulis Injazu'l-Wa'd, fi ithfa-I- r-Ra'd (membalas kontan sekalian membekap guntur menyambar) dalam bahasa Arab yang salah satu salinan naskahnya masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.

Karya-karyanya yang pernah dicetak dan dijual kepada umum adalah Bab Adat-Adat Urang Sunda Jeung Priangan Liana ti Éta (1913), esei tentang suku Sunda, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Belanda (1977); Leutik Jadi Patélaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan (1916); Pakumpulan Atawa Susuratanana Antara Juragan Haji Hasan Mustafa Sareng Kyai Kurdi (1925); Buku Pengapungan (Hadis Mikraj, tahun 1928); dan Syekh Nurjaman (1958). Ia pun menulis buku yang diedarkan untuk kalangan terbatas, seperti Buku Pusaka Kanaga Wara, Pamalatén, Wawarisan, dan Kasauran Panungtungan.

Karya-karyanya yang dipublikasikan dalam bentuk stensilan ialah Petikan Qur’an Katut Abad Padikana (1937) dan Galaran Sasaka di Kaislaman (1937). Selai itu masih ada karya lain yang tidak dipublikasikan dan disimpan oleh M. Wangsaatmadja (sekretarisnya, 1923-1930). Pada tahun 1960 naskah tersebut diketik ulang dan diberi judul Aji Wiwitan (17 jilid). Selain itu, Haji Hasan Mustapa menulis naskah dalam bahasa melayu Kasful Sarair fi Hakikati Aceh wa Fidir (Buku Rahasia Sebetulnya Aceh dan Fidi) yang sampai sekarang naskahnya tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.

Pada tahun 1977, haji Hasan Mustafa sebagai sastrawan Sunda memperoleh hadiah seni dari presiden Republik Indonesia secara anumerta.

sumber:
sundaislam.wordpress.com
wikipedia


1 komentar:

Udin dan Yanto mengatakan...

makasih sis. karna web ini saya menjadi sukses :v