Ismail Marzuki

Posted by admin On Rabu, 15 Mei 2013 3 komentar

Ismail Marzuki adalah seorang komponis besar Indonesia yang semasa hidupnya sudah menciptakan lebih dari 200 buah lagu. Diantaranya lagu Sepasang Mata Bola, Rayuan Pulau kelapa, Indonesia Pusaka, dan lain-lain. Namanya diabadikan sebagai nama pusat kesenian di Jakarta, yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM). Karyanya yang luar biasa bagi negara membuat pemerintah juga memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada 2004.

Ismail Marzuki atau Bang Maing adalah putra Betawi asli. Lahir di Kwitang, Jakarta pada 11 Mei 1914. Sejak kecil ia tidak banyak menerima kasih saying sang ibu, karena ibunya meninggal ketika ia berusia tiga bulan. Sedangkan kakak kandungnya bernama Anie Haminah yang umurnya berbeda sekitar sebelas tahun.

Ismail menempuh pendidikan di HIS Idenburg, Menteng sampai tamat kelas 7, dilanjutkan ke MULO di jalan Menjangan, Jakarta. Saat itu ia dibelikan ayahnya alat musik seperto harmonika, mandolin, dan lain-lain. Dengan alat musik itu ia bermain musik dan menciptakan lagu. Lagu pertamanya berjudul O Sarinah yang ia ciptakan saat berusia 17 tahun.

Dengan bekal ijazah MULO dan lancar berbahasa Inggris dan Belanda ia diterima bekerja di Socony Servie Station. Tetapi ia tidak lama bekerja disana. Ismail kemudian bekerja di perusahaan dagang KK Nies, yang menjual alat-alat musik dan merekam piringan hitam. Ia senang bekerja disana karena bisa menyalurkan bakatnya dalam bidang musik.

Sejak usia muda Ismail sudah menguasai berbagai alat musik. Sekitar tahun 1936 Ismail bergabung dengan perkumpulan orkes Lief Java pimpinan Hugo Dumas. Disanalah kemampuannya meningkat pesat. Ia sangat kreatif mengaransemen lagu beragam genre, lagu-lagu Barat, irama keroncong, maupun langgam Melayu. Ia yang pertama memperkenalkan instrument akordean kedalam langgam Melayu sebagai pengganti harmonium pompa.

Sejak itu ia memperoleh kesempatan tampil dalam siaran Nederlands Indische Omroap Maatschapij dan tidak pernah meninggalkan dunia radio. Kegiatannya lebih banyak menggubah dan mengaransemen lagu-lagu. Saat pendengar radio meminta Lief java menyiarkan lagu-lagu Hawaii juga, maka dibentuk sebuah Band Hawaiian dengan nama Sweet Java Islander yang diisi oleh Ismail, Victor Tobing, Hasan Basri, Pek De Rosario,dan Hardjomuljo.

Karya-karya Ismail pertama mulai direkam ke piringan hitam pada 1937 yang disambut hangat oleh para penggemar musik. Diantara lagu yang direkam antara lain O Sarinah, Ali Baba Rumba, dan Olhe Lheu Dari Kotaradja. Setahun kemudian Ismail mengisi suara dalam film Terang Bulan yang diperankan oleh Rd. Muchtar dalam lagu Duduk Termenung, karena bintang film itu tidak sanggup menyanyikannya. Kesuksesan di dunia film membuatnya diundang ke Malaysia dan Singapura dalam serangkaian pementasan. 

Salah satu lagu yang ia ciptakan pada 1939 berjudul Als De Orchideen Bloeien, sangat memikat hati penggemar di seluruh tanah air bahkan hingga ke negeri Belanda. Pemancar Radio Hilversium, Nederland, sering menyiarkan lagu itu atas permintaan pendengar. 

Pada masa penjajahan Jepang ia melakukan perlawanan dengan caranya sendiri melalui lagu. Ia menggubah lagu Bisikan Tanah Air serta lagu Indonesia Pusaka. Ia pernah dipanggil oleh Kenpetai untuk dimintai penjelasan saat lagu itu disiarkan secara luas di radio. Ia juga membuat lagu perjuangan untuk Peta (Pembela Tanah Air), yaitu mars Gagah Perwira. Lagu Rayuan Pulau Kelapa ia ciptakan tahun 1944. Ia tidak sendiri, karena komposer lain seperti Cornel Simandjuntak membuat lagu yang menggugah semangat, Maju Tak Gentar, dan Kusbini membuat lagu yang membangkitkan perasaan Bagimu Negeri. 

Ismail menikah pada 1940 dengan Eulis Zuraidah. Sampai akhir hayatnya Ismail tidak dikaruniai anak. Tetapi ia memiliki seorang anak angkat bernama Rachmi Aziah.

Pada tahun 1956 Ismail jatuh sakit. Lagu terakhir yang ia ciptakan yang dibuat pada masa sakit berjudul Inikah bahagia? Pada tanggal 25 Mei 1958 di Jakarta, Ismail meninggal dunia di usia 44 tahun.


READ MORE

Rohana Kudus

Posted by admin On Minggu, 12 Mei 2013 0 komentar

Rohana Kudus merupakan tokoh wanita dari Sumatra Barat yang menerbitkan surat kabar perempuan  Soenting Melajoe pada 1912. Iapun memperjuangkan pendidikan bagi perempuan di Minangkabau dengan membangun sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia dan Roehana School. Ia disebut sebagai tokoh yang berhasil menyuarakan perubahan bagi perempuan.

Rohana Kudus lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, pada 20 Desember 1884 dan meninggal pada 17 Agustus 1972 di Jakarta. Ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan sedangkan ibunya bernama Kiam. Nama Kudus sendiri diambil dari nama suaminya, Abdul Kudus. Rohana Kudus juga merupakan kakak tiri (saudara seayah) dari Sutan Sjahrir. Ayahnya menikah dengan ibu Sjahrir setelah ibunya meninggal. Rohana juga merupakan sepupu Haji Agus Salim, karena kakek Rohana dan Agus Salim saudara kandung . Beliau juga memiliki keponakanseorang  penyair terkenal yaitu Chairil Anwar.

Sejak kecil Rohana disapa dengan panggilan “One” oleh ayah dan adik-adiknya. Ia tidak bersekolah, karena umumnya perempuan Minangkabau waktu itu tidak dikirim ke sekolah formal. Meski demikian ia gemar belajar dengan membaca buku dan Koran. Sejak usia 8 tahun ia sudah mahir menulis dalam Bahasa Melayu, Arab, dan Arab Melayu dan kegiatannya tersebut terus berlanjut hingga dewasa. Dari seorang tetangganya yang merupakan seorang istri pejabat Belanda Rohana diajarkan keterampilan perempuan seperti menjahit, menyulam, merenda, merajut. Tak hanya itu, Rohana pun dikenalkan dengan berbagai majalah berbahasa Belanda.

Saat berumur 24 tahun Rohana menikah dengan Abdul Kudus, keponakan ayahnya. Dia seorang aktivis dan notaris yang sering menulis kritik terhadap pemerintah Belanda di koran-koran lokal. Suaminya adalah orang yang berpikiran maju. Dia sangat mendukung cita-cita Rohana untuk memajukan kaum perempuan Minangkabau. Waktu itu untuk memajukan kaum perempuan di Sumatra Barat bukan hal yang mudah.

Pada 1911 Rohana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah keterampilan untuk perempuan agar bisa baca-tulis, menjahit, menyulam. Disana diajarkan pula pengetahuan umum dan pengetahuan agama.

Rohana melihat bahwa saat itu tidak ada koran khusus untuk perempuan di Minangkabau. Maka ia mengirim surat berisi permohonan kepada pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, Datuk Sutan Maharadja. Rohana meminta Sutan agar bersedia mendanai berdirinya koran untuk perempuan di Minangkabau. Sutan Maharadja yang berpikiran maju terkesan dengan surat Rohana hingga ia menemui Rohana untuk membicarakan penerbitan pertama koran tersebut.

Surat kabar tersebut dinamai Soenting Melajoe yang ditujukan bagi perempuan Melayu. Sunting sendiri artinya perempuan.  Disini Rohana menjadi pemimpin  redaksinya dengan dibantu Ratna Djuwita yang merupakan anak dari Datuk Sutan Maharadja. Di surat kabar ini Rohana banyak menyoroti kehidupan perempuan. Ia juga menolak poligami karena akan merugikan perempuan dan keluarga.

Pada 1916 Rohana  ditimpa banyak cobaan, mulai dari tuduhan korupsi hingga tuduhan berselingkuh dengan pejabat Belanda. Akibat penggelapan uang ia nyaris dicopot dari jabatannya sebagai direktris di Sekolah Amai dan beberapa kali harus mengikuti persidangan. Meski tuduhan ini tidak terbukti, Rohana menolak untuk menempati kembali jabatannya di Sekolah Amai. Ia memilih pindah ke Bukittinggi dan mendirikan sekolah disana yang dinamai Roehana School. Kali ini Rohana juga mengajar murid laki-laki.

Hingga usia tua, Rohana sering berpindah tempat tinggal mengikuti anak tunggalnya, Djasma Juni. Ia pernah merantau ke Lubuk Pakam dan Medan dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Ketika kembali ke Padang ia menjadi redaktur Surat Kabar Radio yang diterbitkan oleh Tionghoa-Melayu di Padang. Beliau juga menjadi redaktur surat kabar Cahaya Sumatera.

Dua tahun setelah ia meninggal, Rohana mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah Sumatra Barat sebagai wartawati pertama. Sednagkan pada 1987 Dewan Pertimbangan Persatuan Wartawan Indonesia memberinya gelar penghargaan perintis pers.



READ MORE